Disinformasi Muncul di Tengah Duka Nasional
Gelombang disinformasi kembali merebak di media sosial menyusul tragedi penembakan massal di Pantai Bondi, Sydney. Sebuah video percikan kembang api yang sejatinya merupakan bagian dari perayaan Natal justru disalahartikan sebagai bentuk selebrasi atas serangan berdarah yang mengguncang Australia.
Video tersebut menyebar luas di berbagai platform digital dan memicu kemarahan publik. Banyak unggahan menampilkan narasi emosional yang mengaitkan kembang api itu dengan kelompok tertentu, tanpa dasar fakta yang jelas. Padahal, otoritas setempat memastikan rekaman tersebut sama sekali tidak memiliki kaitan dengan insiden penembakan.
Situasi ini memperlihatkan bagaimana tragedi kemanusiaan kerap menjadi ladang subur bagi hoaks, terutama ketika emosi publik sedang berada di titik paling sensitif.
Kronologi Tragedi Bondi yang Mengguncang Dunia
Penembakan massal di Pantai Bondi terjadi pada Minggu, 14 Desember 2025. Insiden tersebut menewaskan sedikitnya 15 orang dan melukai puluhan lainnya. Peristiwa itu berlangsung bertepatan dengan festival Yahudi tahunan yang tengah digelar di kawasan tersebut, sehingga langsung menyita perhatian internasional.
Otoritas Australia kemudian menetapkan kejadian ini sebagai serangan teroris bermotif anti-Semitisme. Penyelidikan intensif dilakukan, sementara pemerintah setempat mengumumkan masa berkabung nasional dan meningkatkan pengamanan di berbagai titik publik.
Di tengah suasana duka dan kecemasan masyarakat, munculnya konten menyesatkan di media sosial justru memperkeruh keadaan.
Video Kembang Api Disalahartikan Secara Keliru
Rekaman kembang api di langit malam Sydney, seperti dilansir AFP pada Senin, 15 Desember 2025, menjadi salah satu konten yang disalahgunakan. Video tersebut diklaim sebagai bukti adanya perayaan atas tragedi Bondi, padahal konteks aslinya sama sekali berbeda.
Narasi keliru itu tidak hanya beredar di Australia, tetapi juga menyebar secara global hingga ke India, Inggris, dan Amerika Serikat. Sejumlah unggahan menyebut kembang api tersebut sebagai “selebrasi kelompok Islamis”, sebuah klaim serius yang tidak didukung fakta.
Salah satu unggahan bahkan menyebut, “Orang-orang yang telah kita izinkan masuk ke negara kita sekarang menyalakan kembang api di Bankstown, merayakan Pembantaian Bondi terhadap warga Yahudi kita.” Unggahan bernada provokatif ini mendapat ratusan kali repost dan memicu respons emosional dari warganet.
Klarifikasi Otoritas Lokal dan Penyelenggara Acara
Otoritas setempat dengan cepat membantah klaim tersebut. Meski benar terdapat pertunjukan kembang api di wilayah Canterbury Bankstown pada Minggu malam, kegiatan itu telah dijadwalkan jauh sebelum tragedi Bondi terjadi.
Rotary Club of Padstow, selaku penyelenggara acara, menegaskan bahwa kembang api tersebut merupakan bagian dari acara tahunan Christmas Carol. Tradisi ini rutin digelar setiap tahun sebagai rangkaian perayaan Natal.
“Kembang api itu adalah bagian dari acara tahunan Christmas Carol. Acara ini dan pertunjukan kembang api telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya,” demikian pernyataan resmi Rotary Club of Padstow.
Pernyataan tersebut juga menegaskan bahwa tidak ada kaitan apa pun antara pertunjukan kembang api dengan serangan teroris di Pantai Bondi.
Media Sosial sebagai Ruang Provokasi
Meski klarifikasi telah disampaikan, narasi menyesatkan terlanjur menyebar luas. Di Facebook dan X, sejumlah akun tetap mengaitkan video tersebut dengan tuduhan serius, termasuk klaim bahwa kembang api itu merupakan perayaan atas serangan terhadap perayaan Hanukkah.
Fenomena ini menunjukkan bagaimana media sosial kerap menjadi ruang subur bagi provokasi, terutama ketika algoritma mendorong konten emosional agar lebih cepat menyebar. Unggahan yang memicu kemarahan atau ketakutan cenderung mendapatkan perhatian lebih besar, meskipun isinya tidak benar.
Akibatnya, informasi palsu dapat dengan mudah mengaburkan fakta dan memperdalam polarisasi sosial.
Reaksi Warga dan Komunitas Multikultural
Penyebaran hoaks ini menuai kecaman luas, khususnya dari warga Bankstown dan sekitarnya. Wilayah tersebut dikenal sebagai salah satu kawasan multikultural terbesar di Sydney, dengan penduduk dari lebih dari 120 negara dan latar belakang agama yang beragam.
Sejumlah warga menyampaikan kemarahan mereka di media sosial. Seorang pengguna X dari kawasan Belmore menulis, “Secara sengaja menyebarkan informasi keliru untuk memicu kebencian adalah tindakan menjijikkan. Anda seharusnya malu pada diri Anda sendiri.”
Reaksi ini mencerminkan kekhawatiran bahwa disinformasi semacam ini dapat memicu ketegangan antar komunitas yang selama ini hidup berdampingan secara damai.
Bahaya Disinformasi di Masa Krisis
Kasus video kembang api Natal yang dikaitkan dengan teror Bondi menjadi contoh nyata bahaya disinformasi di masa krisis. Informasi keliru tidak hanya menyesatkan publik, tetapi juga berpotensi memicu kebencian, stigma, dan konflik horizontal.
Di tengah tragedi, masyarakat membutuhkan informasi yang akurat untuk memahami situasi dan menjaga ketenangan. Namun, ketika hoaks menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, ruang publik menjadi rentan terhadap manipulasi emosi.
Para pakar komunikasi menilai bahwa literasi digital dan sikap kritis menjadi kunci untuk mencegah dampak buruk disinformasi semacam ini.
Imbauan untuk Publik: Verifikasi Sebelum Membagikan
Otoritas dan berbagai organisasi masyarakat kembali mengimbau publik agar tidak langsung mempercayai konten viral, terutama yang menyangkut isu sensitif seperti terorisme dan konflik antaragama. Verifikasi sumber, konteks waktu, serta pernyataan resmi menjadi langkah penting sebelum membagikan informasi.
Tragedi Bondi adalah peristiwa kemanusiaan yang menuntut empati dan solidaritas, bukan dimanfaatkan sebagai alat provokasi. Penyebaran informasi palsu justru berisiko melukai korban dan keluarga yang sedang berduka.
Kesimpulan: Hoaks yang Mengancam Persatuan
Viralnya video kembang api Natal yang dikaitkan dengan teror Bondi menegaskan betapa mudahnya informasi menyesatkan menyebar di era digital. Fakta telah menunjukkan bahwa kembang api tersebut merupakan bagian dari acara Natal tahunan dan tidak memiliki hubungan apa pun dengan serangan teroris.
Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa di tengah krisis, tanggung jawab kolektif diperlukan untuk menjaga ruang publik tetap sehat. Tanpa sikap kritis dan empati, disinformasi dapat berubah menjadi alat yang memecah belah masyarakat dan memperdalam luka sosial.
Baca Juga : Jukir Tak Resmi di Kesawan Viral, Dishub Medan Bertindak
Jangan Lewatkan Info Penting Dari : ketapangnews

