museros.site – Problematika tata kelola royalti musik di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Isu ini menjadi sorotan utama dalam Seminar Nasional bertajuk “Mengurai Problematika Pelindungan Hak Cipta: Royalti dan Peranan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK)” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) pada Selasa (23/9/2025).
Seminar ini menghadirkan para pakar hukum, pejabat pemerintah, hingga perwakilan industri musik yang membahas hambatan perlindungan hak cipta di era digital. Fokus utama diskusi adalah skema tarif royalti yang dianggap tidak adil, rendahnya kesadaran hukum masyarakat, lemahnya transparansi, hingga kebutuhan mendesak untuk digitalisasi sistem distribusi royalti.
Empat Masalah Utama Tata Kelola Royalti Musik
Wakil Menteri Hukum Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, yang akrab disapa Prof Eddy, menguraikan bahwa terdapat empat masalah pokok yang selama ini membayangi sistem royalti musik di Indonesia.
“Setidaknya ada empat masalah besar yang terus muncul dalam tata kelola royalti musik,” ungkap Prof Eddy.
- Skema Tarif Royalti Tidak Adil
Menurutnya, banyak pelaku usaha menilai skema tarif yang berlaku tidak mencerminkan proporsionalitas penggunaan musik di berbagai sektor usaha. Beberapa pengguna merasa terbebani, sementara pencipta merasa kompensasinya tidak sepadan. - Kesadaran Hukum Rendah
Prof Eddy menyoroti masih rendahnya pemahaman publik terhadap kewajiban hukum membayar royalti. Banyak pelaku usaha maupun individu yang memutar musik di ruang publik tanpa izin atau tanpa membayar royalti, baik karena ketidaktahuan maupun menganggap hal itu tidak penting. - Transparansi Distribusi Royalti Dipertanyakan
Distribusi royalti yang dilakukan oleh LMK sering menuai kritik. Beberapa pihak merasa proses pembagian dana kepada para pencipta dan pemilik hak tidak jelas atau tidak sesuai dengan proporsi yang semestinya. - Kebutuhan Digitalisasi Sistem
Tata kelola manual dianggap tidak lagi relevan di era digital. Sistem distribusi royalti perlu mengadopsi teknologi agar lebih efisien, akuntabel, dan transparan, sekaligus meminimalkan potensi sengketa antara pengguna dan pencipta.
Extended Collective Licensing Jadi Solusi
Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Agung Damar Sasongko, juga mengakui bahwa praktik di lapangan sering kali menimbulkan konflik.
“Untuk itu, pemerintah kini mendorong mekanisme extended collective licensing (ECL). Dengan ECL, LMK menjadi pintu masuk utama untuk izin penggunaan dan penarikan imbalan. Jadi, pengguna tidak perlu repot berhubungan dengan banyak pencipta. Namun, kuncinya ada di digitalisasi agar lebih transparan,” ujar Agung.
ECL memungkinkan pengguna karya musik seperti hotel, restoran, pusat perbelanjaan, hingga platform digital, memperoleh izin hanya dari satu pintu tanpa harus bernegosiasi dengan setiap pencipta lagu. Sistem ini dianggap lebih praktis dan bisa memberikan kepastian hukum bagi kedua belah pihak.
Digitalisasi Jadi Harapan Utama
Para pakar hukum dan industri sepakat bahwa kunci penyelesaian problematika ini terletak pada digitalisasi tata kelola royalti. Dengan sistem digital yang terintegrasi, setiap pemutaran atau penggunaan karya musik dapat tercatat otomatis dan akurat.
Langkah ini diyakini akan meminimalkan sengketa, memastikan keadilan bagi pencipta, serta memberikan transparansi bagi pengguna yang membayar royalti.
Selain itu, digitalisasi akan membantu pengawasan dan pengumpulan data penggunaan musik secara real-time, yang selama ini menjadi salah satu kendala dalam menentukan besaran royalti yang tepat.
Tantangan Implementasi di Lapangan
Meski konsep ECL dan digitalisasi disambut positif, implementasinya di lapangan diperkirakan tidak mudah. Masih banyak pelaku usaha, terutama sektor UMKM, yang belum memiliki kesadaran atau kemampuan untuk mengikuti regulasi ini.
Selain itu, dibutuhkan sosialisasi dan koordinasi lintas kementerian agar kebijakan dapat dijalankan dengan baik. Penegakan hukum yang tegas juga diperlukan untuk memastikan kepatuhan pengguna karya musik.
Dampak untuk Ekosistem Musik Nasional
Penyelesaian masalah royalti musik diyakini akan memberikan dampak signifikan bagi ekosistem musik nasional. Pencipta lagu akan mendapatkan hak ekonomi yang layak, sementara pelaku usaha mendapatkan kepastian hukum yang adil.
Dengan sistem yang transparan dan terukur, diharapkan pertumbuhan industri musik nasional bisa lebih sehat, berkelanjutan, dan mampu bersaing di tingkat global.
Kesimpulan
Seminar nasional di FH UGM menegaskan kembali pentingnya pembenahan tata kelola royalti musik di Indonesia. Empat masalah utama – tarif, kesadaran hukum, transparansi, dan digitalisasi – menjadi fokus perhatian untuk segera diselesaikan.
Pemerintah melalui DJKI dan dukungan akademisi seperti UGM terus mendorong perbaikan regulasi dan implementasi sistem yang lebih modern. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan industri musik Indonesia dapat tumbuh dengan lebih adil dan berdaya saing, sekaligus memberikan penghargaan yang layak kepada para pencipta karya.
Cek juga artikel paling seru dan selalu update di lagupopuler
